Jakarta, 2015 Aku memasukkan ponsel di saku, lalu bangkit menghampiri cermin. Di hadapanku, lelaki dalam balutan kemeja biru langit berdiri dengan mata sedikit lembab. Beberapa jam sebelumnya, suara yang telah belasan tahun tak kudengar mengucapkan panggilan yang paling aku suka: “Opik”. Ferdinand Leonard Manuhutu—lelaki berambut ikal tebal—yang mengucapkan panggilan itu. Dan, ia pasti tak akan menyangka si gundul Opik telah memiliki rambut. Tak setebal miliknya memang. Tapi setidaknya, dendamnya atas kejahilanku menyembunyikan potongan-potongan kecil kertas bertuliskan puisi milik Bibi Vera dirambutnya, dulu, bisa terlunaskan apabila nanti kami bertemu. Meski sejujurnya, aku tak yakin betul kami bisa melakukan hal kekanak-kanakan semacam… read more →
Yogyakarta, 2015 Masih terngiang-ngiang permbicaraan telepon tadi siang. Seorang sahabat lama menghubungiku. Taufik. Dialah yang menyapaku tadi siang. Setelah belasan tahun terpisah, dia masih saja ingat nama lengkapku. Aku tentu saja terharu pada ingatannya ini. “Ferdinand Leonard Manuhutu, apa kabarmu Nyong Ambon?” “Aku baik-baik aja, Pik,” jawabku, memenggal nama panggilannya—‘Opik’—seperti ketika lidah sepuluhtahunku pertama kali mengeja namanya, “biasalah, sibuk di restoran. Nggak seperti kamu yang keren di kantoran.” Aku dan Taufik pertama kali bertemu di sebuah taman baca ketika masa kecilku di Jakarta. Ketika itu kami sama-sama masih berusia sepuluh tahun. Bayangkan di usia sekuncup itu kami telah bersahabat, kemudian… read more →
Jakarta, 2015 “Masih ingat aku?” Butuh waktu cukup lama untuk mencocokkan nama yang disebutkan lelaki bersuara asing ini dengan ingatan di kepalaku yang campur aduk seperti pakaian sepuluh ribu tiga di pasar baju bekas, apalagi di hari Senin begini. Namanya memang terdengar tak asing. Begitu akrab, namun juga begitu jauh. Aku terus memilah ingatan-ingatan itu dengan panik. Siapa katanya tadi? Taufik? Ya, Taufik, Opik. Opik. Opik— Lalu, begitu saja aku seperti dibawa naik mesin waktu. Sosok si orang asing ini menjadi jelas di kepalaku. Sosoknya sebagai bocah setia kawan sekaligus menjengkelkan, tepatnya. Seketika aku tertawa, setengah tak percaya. “OPIK! Astaga!… read more →