Catatan Ah Cy: Hari Senin dan Mesin Waktu
Jakarta, 2015
“Masih ingat aku?”
Butuh waktu cukup lama untuk mencocokkan nama yang disebutkan lelaki bersuara asing ini dengan ingatan di kepalaku yang campur aduk seperti pakaian sepuluh ribu tiga di pasar baju bekas, apalagi di hari Senin begini. Namanya memang terdengar tak asing. Begitu akrab, namun juga begitu jauh. Aku terus memilah ingatan-ingatan itu dengan panik.
Siapa katanya tadi? Taufik? Ya, Taufik, Opik. Opik. Opik—
Lalu, begitu saja aku seperti dibawa naik mesin waktu. Sosok si orang asing ini menjadi jelas di kepalaku. Sosoknya sebagai bocah setia kawan sekaligus menjengkelkan, tepatnya. Seketika aku tertawa, setengah tak percaya.
“OPIK! Astaga! Apa kabar? Dapat nomor aku dari mana?”
“Hahaha. Kan ada internet, Cici…”
Panggilan itu. Lagi-lagi aku tertawa.
Jakarta, 1999
“Opik, kan, aku sudah bilang, aku nggak suka dipanggil itu!”
“Hei, sudah, sudah!” suara itu nyaris tenggelam di tengah teriakan dua bocah yang memekakkan telinga. Teras mungil Taman Bacaan Anak Lebah yang biasanya rapi itu, sore ini benar-benar berisik dan terlihat kacau.
“Ah Cy, Taufik, sudah! Nanti kalau ada yang luka, gimana?”
Perlahan, kedua bocah itu menurunkan tangan masing-masing, sembari masih saling melempar tatapan tajam.
“Ada apa, sih?”
“Aku sering bilang sama Opik kalau aku nggak suka dipanggil Cici. Tapi, dia malah sengaja!”
“Habis, tadi Ah Cy mukul Ramli, Prof!”
Citos, pemuda yang dipanggil Prof itu, memalingkan pandangannya dari buku-buku yang berserakan ke arah Ah Cy. Merasa bersalah, perempuan kecil dengan kuncir dua yang sudah acak-acakan itu segera membela dirinya.
“Tadi Ramli rebut buku yang lagi dibaca Ferdi, Prof! Opik, kamu kan lihat sendiri!”
“Betul, Fer?”
Ferdinand, sembari duduk di depan rak buku memeluk lututnya yang gemetar, hanya mengangguk menahan tangis.
“Tapi aku cuma bercanda, Prof. Ferdinand serius banget, sih. Kalau terlalu serius, nanti cepet tua, lho!” protes Ramli, membuat Profesor Citos susah payah menahan tawa.
“Iya, tapi boleh, nggak, merebut buku begitu?”
“Nggak boleh.”
“Jadi, harus bilang apa sama Ferdi?”
“Hmm, maafin aku, ya, Fer…”
Lagi-lagi, Ferdinand yang masih memeluk lututnya hanya mengangguk.
“Ah Cy, boleh, nggak, pakai kekerasan?”
Ah Cy menggeleng pelan.
“Ayo, Ah Cy, Taufik, Ramli, juga maaf-maafan. Kalau sudah, nanti bukunya kita baca sama-sama, ya!” Profesor Citos memungut buku yang kini tergeletak terbuka di lantai kayu, tepat di depan kaki Ferdinand. Buku tentang internet, rupanya.
“Ada yang tahu, internet itu apa?”
“Apa, tuh, Prof?”
“Aku tahu, Prof! Di internet, kita bisa cari apa saja, kan, Prof?”
“Internet itu adanya di komputer, ya, Prof?”
“Aku duluan, Cici!”
“Opik, aku kan sudah bilang, aku nggak suka dipanggil itu!”
“Eh, sudah, sudah, jangan berantem lagi!” Profesor Citos menggeleng-gelengkan kepala melihat Ah Cy sudah kembali siap dengan pose kuda-kuda andalannya.
Jakarta, 2015
Aku bertemu Taufik dan yang lainnya di sebuah teras rumah teduh milik perempuan yang kami panggil Bibi Vera. Taman Bacaan Anak Lebah, demikian kami diperkenalkan pada tempat tersebut. Ingatanku terhadap tempat tersebut penuh hal-hal menyenangkan. Taufik, Ferdinand, Ramli, Sophia, dan nama-nama lain yang berusaha kuingat. Bibi Vera yang suka mendongeng. Profesor Citos yang pintar. Permainan, cerita-cerita, pertengkaran yang hanya berlangsung sepuluh menit, dan mimpi-mimpi masa kecil.
Dari dulu, Taufik memang paling senang dengan teknologi. Ia juga paling suka berteman. Tak heran, kerjanya sekarang tak jauh-jauh dari IT. Tak heran juga, ia bisa punya ide mencari dan menghubungi kami satu per satu.
Percakapan telepon singkat dengannya rupanya cukup untuk mengalihkan pikiranku dari pekerjaan. Aku memilih “berlibur” sejenak dari deretan e-mail di layar komputer dan bernostalgia sejenak ke hari-hari itu, di mana aku belum pernah terpikir sekali pun akan menghabiskan Senin sampai Jumat di depan benda ini.
“Kayaknya, dulu kamu pinginnya jadi pengusaha, Cy, biar punya banyak uang, terus bisa jalan-jalan kayak Om Lee,” kuingat kembali komentar Taufik itu saat ekor mataku menangkap sekumpulan miniatur pesawat, kereta, dan kapal laut di atas meja kerja. Lalu foto Papi yang membuat hatiku mencelus.
“Namanya juga mimpi masa kecil, Pik,” jawabku sekenanya tadi. Aku tertawa kecil, entah menertawakan jawabanku yang pesimis atau diriku sendiri yang masih saja terperangkap di depan meja kantor. Aku jadi tak sabar ingin tahu apa yang kini dikerjakan teman-teman kami yang lain. “Oktober kita ketemu,” kata Taufik sebelum menutup telepon, “buat reminder di ponselmu. Jangan di kalender meja, ya, Cici.”
Bagaimana ia bisa tahu? batinku geli, sembari melingkari sebuah tanggal pada kalender dengan spidol merah. Kupejamkan mata, kembali sibuk dengan mesin waktu dari ingatan-ingatan berusia belasan tahun.
Comments are closed.