Jakarta, 2015 “Jadi gimana, Pik, kita ketemu lagi minggu depan, ya?” “Boleh, Cy. Nanti aku kabarin Ferdinand juga.” “Serius, yaaa?” tanya Ah Cy, antusias, “kabarin aku kalau udah fix.” “Iya, Ciciiii …” “Heh, Pik! Jangan kamu kira aku udah nggak bisa marah kalau dipanggil ‘Cici’, ya!” “Minggu depan itu, ummm, tanggaaal?” “29 Agustus, Pik.” “Serius?” Karena ragu, Ah Cy mengambil ponselnya yang terbaring di meja untuk melihat kalender. “Bener. Sekarang, kan, tanggal 22.” Tanggal 22, aku membatin. “Eh, Cy, nanti kita berkabar lagi, ya.” Aku bangkit dari sofa rumah Ah Cy, sambil mengambil ancang-ancang pergi. “Lho, mau ke mana?” “Ada… read more →
Jakarta, 2015 Hari ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Sementara aku belum merdeka dari tumpukan pekerjaan. Aku melipat layar laptop, kemudian bangkit menuju jendela. Di luar samar terdengar keriuhan lomba tujuh belasan yang berusaha diselenggarakan dengan peserta seadanya. Hanya tiga sampai lima anak terlihat tengah susah payah menghabiskan kerupuk yang digantung. Selebihnya sekumpulan orang dewasa yang berusaha terlihat sumringah, agar perayaan sedikit meriah. Beberapa tahun belakangan, di kompleks tempat tinggalku saat ini, perayaan tujuh belasan semakin kehilangan kegembiraannya. Anak-anak yang beberapa tahun lalu masih antusias, misalnya, kini telah menjadi remaja yang tak mau terlihat kekanakan dengan mengikuti lomba tujuh belasan.… read more →
Jakarta, 1999 Warna merah putih menghiasi sebuah beranda teduh berukuran tiga kali enam meter di selatan Jakarta yang nyaris tak pernah sepi dari anak-anak kecil. Tempat kesukaan Ah Cy. Sepulang sekolah, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia akan mandi, minta rambutnya dicepol dua oleh Mami, lalu pergi ke sana. Kadang Mami atau Papi mengantarnya dengan mobil. Tapi, Ah Cy lebih sukamengendarai sepedanya. Ia suka rasanya: seperti anak-anak besar yang sudah tak butuh dijaga siapa-siapa. Ah Cy berkunjung ke Taman Bacaan Anak Lebah nyaris setiap hari, kecuali hari Selasa. Ia ikut les kungfu setiap hari Selasa. Kata Pak Lee, papi Ah Cy,… read more →
Jakarta, 2015 Aku memasukkan ponsel di saku, lalu bangkit menghampiri cermin. Di hadapanku, lelaki dalam balutan kemeja biru langit berdiri dengan mata sedikit lembab. Beberapa jam sebelumnya, suara yang telah belasan tahun tak kudengar mengucapkan panggilan yang paling aku suka: “Opik”. Ferdinand Leonard Manuhutu—lelaki berambut ikal tebal—yang mengucapkan panggilan itu. Dan, ia pasti tak akan menyangka si gundul Opik telah memiliki rambut. Tak setebal miliknya memang. Tapi setidaknya, dendamnya atas kejahilanku menyembunyikan potongan-potongan kecil kertas bertuliskan puisi milik Bibi Vera dirambutnya, dulu, bisa terlunaskan apabila nanti kami bertemu. Meski sejujurnya, aku tak yakin betul kami bisa melakukan hal kekanak-kanakan semacam… read more →
Jakarta, 2015 Masih terngiang-ngiang permbicaraan telepon tadi siang. Seorang sahabat lama menghubungiku. Taufik. Dialah yang menyapaku tadi siang. Setelah belasan tahun terpisah, dia masih saja ingat nama lengkapku. Aku tentu saja terharu pada ingatannya ini. “Ferdinand Leonard Manuhutu, apa kabarmu Nyong Ambon?” “Aku baik-baik aja, Pik,” jawabku, memenggal nama panggilannya—‘Opik’—seperti ketika lidah sepuluhtahunku pertama kali mengeja namanya, “biasalah, sibuk di restoran. Nggak seperti kamu yang keren di kantoran.” Aku dan Taufik pertama kali bertemu di sebuah taman baca ketika masa kecilku di Jakarta. Ketika itu kami sama-sama masih berusia sepuluh tahun. Bayangkan di usia sekuncup itu kami telah bersahabat, kemudian… read more →