Catatan Taufik: Ketika Kancil Tak Nakal Lagi

Jakarta, 2015

“Jadi gimana, Pik, kita ketemu lagi minggu depan, ya?”

“Boleh, Cy. Nanti aku kabarin Ferdinand juga.”

“Serius, yaaa?” tanya Ah Cy, antusias, “kabarin aku kalau udah fix.”

“Iya, Ciciiii …”

“Heh, Pik! Jangan kamu kira aku udah nggak bisa marah kalau dipanggil ‘Cici’, ya!”

“Minggu depan itu, ummm, tanggaaal?”

“29 Agustus, Pik.”

“Serius?”

Karena ragu, Ah Cy mengambil ponselnya yang terbaring di meja untuk melihat kalender. “Bener. Sekarang, kan, tanggal 22.”

Tanggal 22, aku membatin. “Eh, Cy, nanti kita berkabar lagi, ya.”

Aku bangkit dari sofa rumah Ah Cy, sambil mengambil ancang-ancang pergi.

“Lho, mau ke mana?”

“Ada urusan pentiiing.”

Aku berjalan cepat meninggalkan Ah Cy yang merasa heran.

Jakarta, 1999

“Prof, menurutmu 10 tahun nanti, teknologi akan semaju apa, sih?” tanya Bibi Vera.

“Wah, pasti sangat maju, Ver. Apalagi dengan adanya internet. Kalau semua orang sudah mendapatkan akses internet, berarti akses informasi bisa dengan mudahnya didapatkan orang,” jawab Profesor Citos.

“Waaah, internet itu keren banget, ya, Prof.”

Sore ini, aku memilih duduk di antara percakapan dua orang dewasa. Sementara Ah Cy, Ferdinand, Ramli, Putri, dan Sophia asyik bermain di jalan depan Taman Bacaan Anak Lebah. Aku sedang tidak punya keinginan untuk bermain dan bergurau, sebab perkataan Babeh masih terulang di pikiranku. Babeh nyari uang susah payeh buat nyekolahin Opik, supaye Opik nggak nakal. Tapi, kok, Opik masih aje nakal, sih!?

Mendengar suara Babeh di pikiranku, tanganku tergerak merogoh mangga muda yang ada di saku celanaku. Mangga ini terasa keras. Mungkin sama kerasnya dengan keinginan Babeh agar tetap bisa menyuguhkan hidangan layak untuk setiap tamu yang datang. Karena itu, pohon mangga di pekarangan kecil kami menjadi salah satu harta berharga milikinya.

Babehku bukan papinya Ah Cy, yang dapur dan kulkasnya selalu penuh terisi. Rumah Pak Lee—papinya Ah Cy—selalu jadi tempat favorit anak-anak lebah. Setiap ke sana, kami selalu bisa menyantap makanan lezat dan minuman segar. Tapi anehnya, Ah Cy lebih suka main ke rumahku. Katanya, mangga di rumahku dagingnya sangat manis dan lembut.

Aku tak tahu, pohon mangga jenis apa namanya, tapi yang jelas pohon itu usianya sudah berpuluh tahun dan ditanam oleh Engkong. Namun beberapa bulan belakangan, Babeh gelagapan ketika tamu datang, sebab sejak mengenal ketapel, aku sering kali berlatih mengetapel rimbun mangga yang belum matang.

“Pik,” suara Bibi Vera membuyarkan lamunanku, “kok, bengong, sih?”

Aku menjawab pertanyaan Bibi Vera dengan senyum kecil. Menandakan tidak ada masalah besar yang kualami.

“Prof, 10 tahun nanti mesin waktu bakal ditemukan nggak, ya?” tanya Bibi Vera.

“Ummm …” Profesor Citos mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya di dahi.

Profesor Citos—lelaki yang usianya tak beda jauh dengan Bibi Vera—punya kebiasan seperti itu ketika berpikir. Meski ia bukan profesor sungguhan, tapi julukan itu memang sangat pas menempel pada namanya. Ia sangat pandai serta punya pengetahuan luas, khususnya tentang teknologi.

“Mudah-mudahan, sih, nggak, Ver.”

“Lho, kenapa, Prof?”

“Kalau mesin waktu ditemukan. Nantinya orang-orang nggak akan berjuang melakukan yang terbaik untuk hidupnya saat ini. Teknologi yang baik itu, Ver, bukan teknologi yang pada akhirnya melemahkan peran manusia.”

Bibi Vera hening. Matanya terlihat berbinar mendengar jawaban Profesor Citos.

“Pik, tolong Bibi panggil teman-temanmu yang lain, ya. Bibi mau dongeng hari ini.”

Kata ‘dongeng’ seolah magnet bagi teman-teman. Belum sempat aku bangkit, mereka sudah datang. Dan segera saja Bibi Vera meminta mereka duduk rapi untuk mendengarkan dongengnya.

Hari ini, Bibi kembali berdongeng tentang kancil yang mencuri timun petani tua. Ferdinand terlihat antusias, sedangkan Ramli masih saja iseng pada Sophia. Lalu, pada akhir dongeng, Bibi memberikan kesempatan kami untuk bertanya atau menanggapi dongengnya. Entah mengapa, tanganku tergerak mengangkat.

“Bibi, apa jadinya kalau kancil nggak nakal lagi?”

Bibi hanya mengerutkan dahi. Dan untuk pertama kalinya kehilangan jawaban.

Jakarta, 2015

“Assalamu’alaikum, Beh.”

Aku mengetuk pintu sedikit lebih keras, karena khawatir api menelan habis tubuh lilin berbentuk angka 55 di kue ulang tahun Babeh.

“Assalamu’alaikum, Beh,” ulangku. Tapi belum terdengar jawaban.

Rumah ini masih sama seperti dulu. Hanya saja warna cat dan lantainya terlihat pudar. Setelah Nyak meninggal dua tahun silam, dan aku serta kakaku, Juki, memilih tinggal di dekat kantor kami, Babeh hanya tinggal ditemani pohon mangga kesayangannya.

“Wa’alaikumussal­aam.” Terdengar suara dari dalam rumah dan langkah mendekat ke pintu.

“Eh, Opiiik,” sambut lelaki yang wajahnya sekarang terasa letih dan penuh kerut itu.

“Selamat ulang tahun, ya, Beh.”

“Iye, Pik. Makasih, ye. Tumben, nih, Opik romantis bener ame Babeh.”

“Opik boleh masuk nggak, nih, Beh?” gurauku, sambil berdiri di depan pintu.

“Ya Allah! Masuk sini, Tong.”

“Bercanda, Beh. Hehehe. Di teras anginnya lebih kenceng, nih, Beh.”

“Anak Babeh semenjak kenal AC bawaannye manja. Nggak bisa gerah dikit.”

Aku meletakkan kue di meja, lalu duduk di kursi betawi berbahan kayu jati, sementara Babeh duduk di kursi goyang favoritnya.

“Beh, ini ditiup dulu lilinnya.”

“Iye, Pik, iye.” Babeh bangkit dari kursi goyangnya, kemudian meniup lilin ulang tahunnya.

“Angkanya salah, tuh, Pik,” kata Babeh, sambil duduk di kursi sebelahku, “harusnye 57.”

“Masa, sih, Beh? Soalnya muka Babeh masih kelihatan 55, lho.”

“Pinter bener ngerayunye.

“Terserah Babeh, deh,” jawabku, diikuti senyum kecil.

“Tapi, Pik, Babeh seneng bener Opik masih ada usaha inget-inget umur Babeh. Diinget aje Babeh udah seneeeng bener.”

“Yah, Babeeh. Kok, ngomongnya gitu, sih?”

“Bercanda, Pik Hehehe. Mentang-mentang anak sekolahan, Opik jadinya serius bener.”

Aku tersenyum, sambil memotong kue ulang tahun.

“Eh, Pik, Babeh petikin mangga buat kita kupas mau, ye?”

“Nggak usah, Beh, nanti kalau ada tamu gimana?”

“Yeee… sekarang saudara-saudara Opik udah pada jarang kemari. Mangganya juga jadi sering busuk di pohon atau dibawa kalong, Pik. Apalagi nggak ada lagi anak nakal yang suka main ketapel. Lagian, kan, Opik sama Juki tamu yang paling Babeh tunggu.”

Aku kehilangan kata-kata. Dan tiba-tiba, aku bisa menjawab pertanyaan masa kecilku sendiri. Apa jadinya kalau Kancil nggak nakal lagi? Barangkali, akan ada petani tua yang kesepian.