Catatan Taufik: Sang Juara Akhirnya Kalah

Jakarta, 2015

Hari ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Sementara aku belum merdeka dari tumpukan pekerjaan. Aku melipat layar laptop, kemudian bangkit menuju jendela. Di luar samar terdengar keriuhan lomba tujuh belasan yang berusaha diselenggarakan dengan peserta seadanya. Hanya tiga sampai lima anak terlihat tengah susah payah menghabiskan kerupuk yang digantung. Selebihnya sekumpulan orang dewasa yang berusaha terlihat sumringah, agar perayaan sedikit meriah.

Beberapa tahun belakangan, di kompleks tempat tinggalku saat ini, perayaan tujuh belasan semakin kehilangan kegembiraannya. Anak-anak yang beberapa tahun lalu masih antusias, misalnya, kini telah menjadi remaja yang tak mau terlihat kekanakan dengan mengikuti lomba tujuh belasan. Sedangkan yang dewasa, ya, seperti aku inilah. Sibuk kerja atau berusaha terkesan sibuk kerja untuk menghindar.

Aku kini hanyalah lelaki yang kehilangan jiwa kanak-kanak; hanyalah tubuh dewasa yang seumpama ruang kosong. Dan segala yang mengisi padaku hanyalah kekosongan belaka.

Aku beralih dari pemandangan lomba, menggeser kursi kerjaku hingga letaknya di hadapan jendela, lalu kembali duduk. Dan pandanganku seolah tiba di tempat yang jauh; berpuluh kilometer dari tempatku duduk, belasan tahun putaran balik jarum jam di kamar tempatku terperangkap sekarang.

Jakarta, 1999

“Kali ini kita nggak boleh kalah, teman-teman!” Ramli mencoba meyakinkan aku, Ah Cy, dan Ferdinand. Namun, Ferdinand dan Ah Cy terlihat tak menggubrisnya. “Kalau kita kalah lagi dari Sophia, itu sama saja kita belum merdeka dari jajahan Belanda,” lanjut Ramli, yang disambut kerut di dahi Ferdinand, serta bosan yang menguap dari mulut Ah Cy. “Pik, betul nggak perkataanku?” Ramli menyenggol tubuhku dengan sikutnya.

“Eh. Iya. Be.be.betul, tuh, teman-teman,” jawabku, terpaksa.

“Nah!” Ramli menegakkan telunjuknya, “kalau ketua kita sudah setuju, yang lain juga harus setuju!”

Mendengar perkataan Ramli, Ah Cy bangkit dan memasang gaya kuda-kudanya. “Eh, Ram! Sejak kapan Opik jadi ketua kita!? Lagian, jangan mentang-mentang Sophia orang Belanda kamu bisa seenaknya saja anggap dia penjajah, dong!”

“Betul, Ram. Kau nggak boleh kayak gitu. Kita semua ini saudara,” timpal Ferdinand, “dan kau ingat kata Bibi Vera, orang Indonesia adalah siapa pun yang mencintai negeri ini.”

“Hoam,” Ramli pura-pura mengantuk, “itu alasanmu saja, Fer, karena kamu memang nggak pernah menang lomba melawan Sophia. Ah Cy juga. Cuma ketua kita Opik yang pernah ngalahin Sophia waktu lomba masukin pensil ke dalam botol tahun lalu. Makanya, aku pilih angkat dia sebagai ketua.”

“Tahun kemarin aku lagi agak sakit, Ram! Tapi lihat tahun ini, aku pasti bisa ngalahin Sophia,” tegas Ah Cy, yang semakin garang dengan kuda-kudanya.

Seperti biasa, tahun ini Taman Bacaan Anak Lebah menyelenggarakan lomba tujuh belasan. Ini tahun kesekian dari tahun-tahun kekalahan kami oleh Sophia. Perempuan Belanda kecil cantik itu, memang selalu ingin menonjol untuk beberapa hal yang bisa mengesankan kecintaan terhadap Indonesia.

Ia paling unggul dalam sejarah Indonesia, paling bisa membedakan ragam majas bahasa, serta hapal teks proklamasi. Meskipun, ia tak bisa mengalahkan kami dalam tutur bahasa Indonesia sehari-hari. Ya, kami. Termasuk Ramli yang nilai pelajaran Bahasa Indonesianya pas-pasan. Sophia memang masih terbata-bata ketika bicara dengan bahasa Indonesia. Seringkali urutan bahasanya terbolak-balik. Namun, untuk menutupi kelemahannya tersebut, ia seringkali bertingkah berlebihan: selalu mengenakan setelan pakaian berwarna merah putih, berusaha menjuarai setiap lomba tujuh belasan, bahkan rela memakan spageti dengan sambal terasi dan kerupuk udang.

“Ketua!” teriak Ramli, yang membuyarkan bayangan Sophia, “gimana keputusannya? Jadi nggak kita kompakan kalahin Sophia!?”

“Setuju!” teriakku, “memang hadiahnya apa, Ram?”

“Tahun ini istimewa, Pik. Makcik Dhani ngasih dua lusin buku, ditambah seperangkat alat tulis. Bagus-bagus, deh, Pik!”

“Waaaaah! Kalau aku menang, Babeh nggak perlu repot-repot cari tambahan uang buat beli buku dan alat tulis baru, nih!” kataku, antusias.

“Ummm … Makcik Dhani di sini, Ram?” tanya Ferdinand. Wajahnya pucat.

“Iya, Fer. Biasa, tuh, lagi di dapur.” Ramli berdiri sambil memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara. “Hmmmm … memang kamu nggak bisa mencium aroma lezat masakannya?”

Wajah Ferdinand semakin pucat. Ia paling takut dengan Makcik Dhani, sebab setiap kali datang, Makcik selalu bereksperimen dengan perut kami. Makcik selalu berusaha memasak untuk kami. Tapi sayangnya masakannya selalu gagal. Kalau istilah Profesor Citos, Makcik selalu mencampurkan senyawa yang tidak seharusnya pada setiap masakannya. Tahun lalu, misalnya, Makcik merendam ayam dalam sewadah coca-cola. “Biar empuk,” kata Makcik, dulu.

Selain itu, Makcik juga selalu merasa tahu banyak hal dan selalu ingin paling kuat menghadapi segala hal. Kalau kata Profesor Citos, Makcik tipikal orang Jakarta; selalu tangguh dan tak mudah menangis untuk hal-hal sepele.

Babeh juga sering kali mengatakannya. Orang Jakarta harus kuat. Tak boleh gampang menangis. Juga harus rajin belajar supaya jadi insinyur, seperti si Doel.

“Anak-anaaaak!” suara Makcik pecah di dapur, “sebelum lomba makan dulu, ya! Biar kuat dan bisa menang lombanyaaaaa!”

Mendengar suaranya, kami berempat segera berhamburan ke luar taman baca.

**

Langit berwarna kuning muda. Serasi betul dengan rambut pirang Sophia yang disanggul. Kali ini, ia memakai setelan merah putih yang sepertinya baru selesai dijahit dari penjahit mahal langganan ibunya. Di dada kemejanya tersemat burung garuda yang bersandingan dengan pin bergambar Bung Karno. Orang tuanya, suami istri Wilson, memang yang menurunkan gairah nasionalisme pada Sophia. Pak Wilson merupakan ahli sejarah, sedangkan istrinya seorang guru olahraga. Campuran keduanya menghasilkan seorang juara bertahan lomba tujuh belasan bernama Sophia.

Lomba pertama adalah balap karung. Kali ini, Ramli yang menjadi lawan Sophia. Kak Daus melipat karung yang tingginya hampir menelan seluruh tubuh Ramli. Sementara Makcik Dhani terlihat tengah menyusun siasat untuk menjebak kami menyantap masakannya.

“Satuuu… duaaa… tigaaaa!”

Sophia melompat lincah meninggalkan Ramli. Hasilnya 1-0, dengan kekalahan ditanggung kami berempat.

Ah Cy menjadi lawan kedua Sophia dalam lomba menggigit sendok yang ditaruh sebutir kelereng. Sejujurnya, kami salah strategi, sebab jelas Ah Cy seorang yang tak sabaran. Lain soal kalau ada lomba kungfu. Ia pasti dengan mudahnya mengalahkan Sophia. Maka hasilnya jelas. Skor menjadi 2-0.

Lomba ketiga adalah makan kerupuk. Harusnya ini ajang pertarungan bagi Ferdinand. Tapi, Nyong Ambon memilih kalah sebelum berperang. Dan pilihannya itu dijadikan bahan olok-olokan Ramli. Alhasil, melalui rapat kecil di tepian riuh lomba, aku didaulat untuk menghadapi Sophia. Padahal, aku paling andal di lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Aku terbukti mengalahkan Sophia tahun lalu. Tapi, ya, terpaksa. Paling tidak dengan menggantikan Ferdinand, kami punya sedikit perlawanan.

“Ketuaku, aku percaya kamu bisa mempersembahkan kemenangan untuk kami,” kata Ramli. Matanya cerlang.

Setelah Kak Daus selesai mengikat seluruh kerupuk dengan tali rapia, aku berjalan dengan gagah ke tengah arena pertarungan. Ramli, Ah Cy, dan Ferdinand mengipasiku dengan lembar brosur TBAL. Kalau saja aku berambut, pasti rambutku yang digerakkan angin bisa menghasilkan efek dramatis.

“Semua siaaaap!?” Kak Daus terdengar bersemangat, “satuuuu… duaaaa… tiiiiig__”

“Bentar, Kak Daus!” teriakan Bibi Vera memotong hitungan Kak Daus.

Lalu, Bibi Vera menuntun seorang anak seusiaku. Anak lelaki itu berwajah kumal, dan pakaiannya robek di sana-sini. “Tambah satu peserta lagi, Kak Daus. Firman mau ikut lomba, nih,” kata Bibi Vera.

Sementara Kak Daus mengikat satu kerupuk lagi, Ramli memijati pundakku seolah aku petinju asuhannya.

“Okeee. Siap, yaaa?” kata Kak Daus, “satuuu… duaaa… tigaaaaa!”

Mulutku segera mencoba menangkap kerupuk. Ramly, Ah Cy, dan Ferdinand sibuk meniup kerupuk agar semakin dekat ke mulutku. Tapi, embusan mereka malah membuat gerak kerupuk semakin liar. Untungnya, beberapa kali gigiku berhasil mematahkan kerupuk itu.

Sesekali aku melirik Sophia. Entah belajar dari mana ia jurus lompatan. Ia dengan ringannya melompat dan menerkam kerupuk dengan bibir mungilnya. Duh! Aku membatin.

Kemudian, waktu berakhir dengan sedikit sisa kerupuk di hadapanku. Sementara lompatan sakti Sophia, berhasil menjadikannya juara. Aku sedikit kecewa. Namun, ketika kulirik peserta yang lain, aku sedikit lega karena kerupuk mereka lebih utuh dari milikku. Apalagi anak bernama Firman itu. Kerupuknya tidak tergigit secuil pun.

“Juara dua sudah lumayan, lah, ketuaku. Paling nggak lebih baik dari yang lain,” kata Ramli, yang disambut anggukan kepala Ferdinand dan Ah Cy.

Makcik terlihat berjalan menghampiri Firman. “Firman, kok diem saja waktu lomba?”

Firman terlihat gugup dan wajahnya tertunduk lesu kemerahan.

“Kenapa, Firman?” tanya Makcik.

“Bu, boleh kerupuknya aku bawa?” tanya Firman, yang hanya dijawab Makcik dengan kerutan di dahi.

Belum sempat Makcik mengucap, Firman melengos pergi membawa kerupuknya. Melihat kejanggalan itu, aku dan Makcik membuntuti Firman.

Kami sampai di pojokan yang terasing dari kemeriahan lomba. Kulihat, Firman menghampiri seorang anak lelaki yang sama kumal dengannya.

“Wan, nih, Kakak bawa kerupuk buat kamu,” kata Firman, terdengar separuh berbisik.

Makcik tertunduk haru. Hari ini, perempuan tangguh di sebelahku seolah bukan orang Jakarta.