Catatan Ah Cy: Rahasia Kecil

Jakarta, 1999

Warna merah putih menghiasi sebuah beranda teduh berukuran tiga kali enam meter di selatan Jakarta yang nyaris tak pernah sepi dari anak-anak kecil. Tempat kesukaan Ah Cy. Sepulang sekolah, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia akan mandi, minta rambutnya dicepol dua oleh Mami, lalu pergi ke sana. Kadang Mami atau Papi mengantarnya dengan mobil. Tapi, Ah Cy lebih sukamengendarai sepedanya. Ia suka rasanya: seperti anak-anak besar yang sudah tak butuh dijaga siapa-siapa.

Ah Cy berkunjung ke Taman Bacaan Anak Lebah nyaris setiap hari, kecuali hari Selasa. Ia ikut les kungfu setiap hari Selasa. Kata Pak Lee, papi Ah Cy, itu bukan karena mereka orang Tionghoa, melainkan supaya ia kelak bisa membela diri. Pak Lee cepat-cepat mendaftarkan Ah Cy begitu menyadari pentingnya kemampuan tersebut, tepatnya dua tahun lalu, setelah sekelompok orang nyaris menyeretnya keluar dari kantornya sendiri. Untung saja, Pak Lee yang juga pernah belasan tahun berlatih kungfu masih menyimpan sisa-sisa ilmu dalam kepala dan tubuhnya.

Ah Cy suka berlatih kungfu. Ia suka merasa seperti jagoan yang bisa melindungi orangtua dan teman-temannya. Namun, kadang ia tak sadar bahwa ia juga bisa membutuhkan bantuan.

Rabu petang. Beranda dan pagar rumah ini sudah penuh bendera merah putih dan ucapan-ucapan kemerdekaan warna-warni yang semuanya dibuat oleh para penghuni cilik kesayangannya. Hari itu, mereka menghabiskan sore membuat dekorasi peringatan hari kemerdekaan, yang akan berlangsung keesokan harinya. Semua orang yang melihat akan tahu setidaknya dua hal yang mengisi rumah ini: anak-anak kecil dan semangat empat lima.

“Nggak pulang kau, Ah Cy? Rumah kau, kan, paling jauh,” tanya Ferdinand, si anak Maluku. Ah Cy menggeleng kuat-kuat, meski tetap tak cukup kuat untuk menggoyahkan kedua cepolnya.

“Aku mau menunggu kalian pulang dulu. Nanti, kalau kalian sudah sampai rumah, baru aku pulang,” jawabnya, membuat Bibi Vera ikut menggeleng-geleng sambil tersenyum geli.

“Ah Cy, nggak usah khawatir.Ferdinand dan Taufik, kan, rumahnya dekat,” sahut Bibi Vera, “itu, Putri dan Sophia juga mau pulang naik mobilnya Putri.”

“Nanti, kalau ada orang jahat, gimana?”

“Cici, baju kami jelek-jelek begini, siapa yang mau jahat?” balas Taufik.

“Iiiih, Opik, orang jahat, kan, bisa sama siapa saja! Dan jangan panggil aku Cici!”

Bibi Vera dan Kak Daus, yang sejak tadi hanya ikut mengamati dari pintu rumah, saling bertukar pandang. Pemandangan begini sudah biasa mereka lihat. Menggemaskan, lucu, sekaligus mengharukan. Anak-anak ini rupanya sudah tumbuh semakin tinggi rasa pedulinya terhadap satu sama lain. Meski kadang membuat kesal juga jika mereka mulai bertengkar buat hal-hal yang tak masuk akal.

“Heh, sudah. Ini sudah sore, sudah mulai gelap, memang semuanya sudah waktunya pulang. Besok pagi, kan, kita ketemu lagi untuk lomba 17-an…”

“HOREEE!” semuanya berteriak semangat.

“Ah Cy, pulang diantar Kak Daus, ya?” bujuk Bibi Vera.

“Eeya, huk, naik hepeda bawweng Kak Khaus,” sahut Kak Daus yang tengah asyik mengunyah rotinya. Namun, tepat seperti dugaan Bibi Vera, lagi-lagi Ah Cy menggeleng kuat-kuat.

“Ah Cy bisa pulang sendiri, kok,” tegasnya seraya menggiring sepeda birunya ke luar pagar, “Ferdinand, Taufik, ayo pulang! Daaah, Bibi Vera! Daah, Kak Daus!”

Aku, kan, sudah bisa pulang sendiri, batin Ah Cy agak kesal karena seolah tak ada yang mempercayainya. Rumahnya memang lebih jauh daripada yang lain, tapi menurutnya tak sejauh itu. Belok kiri, belok kanan, lurus, lalu belok kanan lagi, belok kiri dua kali, lurus, rumah kelima di sebelah kanan. Ia sudah belok kiri, sudah belok kanan, dan tengah mempercepat jalannya karena diam-diam ia merasa ngeri juga bersepeda sendiri sore-sore gelap begini. Ngebut, ngebut, ngebut, batinnya lagi.

“Kucing, minggir! Kucing! Hush!” Ah Cy membunyikan bel sepedanya ketika tiba-tiba seekor kucing abu-abu menghalangi jalannya. Sayangnya, si kucing belum sempat berdiri saat Ah Cy kehilangan keseimbangan.

“AAAAAH!”

Tahu-tahu, Ah Cy sudah terduduk di aspal. Lutut dan betis kirinya berdarah. Tumit kanannya juga. Perih. Susah payah ia menahan tangis dan berusaha berdiri, tapi gagal. Akhirnya ia memutuskan tetap duduk di sana sambil menunggu orang lewat. Dua menit, lima menit, sepuluh menit. Air mata mulai jatuh di pipi Ah Cy.

“Pik, itu, kan, Ah Cy!” sebuah suara mengejutkan Ah Cy.

“Lho, Ah Cy, kamu kenapa? Kok nangis? Lho, kok berdarah? Jatuh, ya?”

“F-fer, Op-opik, kalian ngapain?” tanya Ah Cy dengan suara tersendat.

“Kami mau ke warung, ibuku titip beli air minum. Kau nggak bisa jalan, ya?” Ferdinand berjongkok, mengamati kaki Ah Cy. Ah Cy menggeleng, kali ini perlahan.

“Yuk, kami antar. Kau duduk saja di atas sepeda,” ia mengangkat sepeda Ah Cy dan membantu gadis kecil itu berdiri. Ah Cy menyeka air matanya dan duduk di atas sepeda, sembari dituntun oleh Ferdinand dan Taufik.

“Makasih, ya, Pik, Fer. Kalau kalian nggak ada, aku nggak tahu gimana pulangnya,” ujarnya pelan.

“Lain kali, naik sepedanya jangan ngebut, Cici. Bahaya,” pesan Taufik. Kali ini, Ah Cy tak protes mendengar panggilan yang dibencinya itu. Ia sedang sibuk mengkhawatirkan hal lain. Sejenak kemudian, ia memutuskan menyampaikan kekhawatirannya tersebut.

“Ini rahasia, ya. Jangan bilang siapa-siapa kalau aku nangis!”

Jakarta, 2015

“Iya, tenang aja. Ini rahasia kita berdua,” kuulurkan jari kelingking pada anak perempuan di hadapanku ini. Ia tersenyum dan menyambut uluran kelingkingku.

“Nih, tante punya tisu. Hapus dulu air matanya. Kakinya nggak apa-apa, kan?”

Anak itu menggeleng tegas. Mengingatkanku pada diriku sendiri lima belas tahun lalu. Sepuluh detik kemudian, ia sudah nyaris hilang dari pandanganku, dengan sepedanya yang lengkap berhias bendera merah putih.

Ah Cy, kamu masih sekuat dulu?