Catatan Taufik: Dua Kejutan dari Ferdinand

Jakarta, 2015

Aku memasukkan ponsel di saku, lalu bangkit menghampiri cermin. Di hadapanku, lelaki dalam balutan kemeja biru langit berdiri dengan mata sedikit lembab. Beberapa jam sebelumnya, suara yang telah belasan tahun tak kudengar mengucapkan panggilan yang paling aku suka: “Opik”.

Ferdinand Leonard Manuhutu—lelaki berambut ikal tebal—yang mengucapkan panggilan itu. Dan, ia pasti tak akan menyangka si gundul Opik telah memiliki rambut. Tak setebal miliknya memang. Tapi setidaknya, dendamnya atas kejahilanku menyembunyikan potongan-potongan kecil kertas bertuliskan puisi milik Bibi Vera dirambutnya, dulu, bisa terlunaskan apabila nanti kami bertemu. Meski sejujurnya, aku tak yakin betul kami bisa melakukan hal kekanak-kanakan semacam itu lagi.

Barangkali, aku telah bertumbuh menjadi seorang yang asing bagi masa silamku. Aku bukan lagi si gundul yang kepalanya ditumbuhi gagasan-gagasan jahil. Aku bukan lagi Opik, melainkan Taufik; seorang lelaki dewasa yang merindukan masa kanak-kanaknya.

Sementara Ferdinand, aku merasakan ada yang berbeda darinya. Suaranya telah kehilangan gelora. Entahlah. Padahal, dulu, gelora suaranya yang sering kali membangkitkan mimpi-mipiku yang doyan tidur. Tapi sekarang, suaranya terdengar berat dan lirih, seolah menyimpan banyak penyesalan.

Kata Bibi Vera, hidup penuh kejutan. Kali ini, aku mesti sepakat dengannya. Aku yang dulu terkenal jahil dan tak pernah serius mendengarkan celoteh Profesor Citos tentang teknologi, justru bekerja di perusahaan konsultan IT terkemuka. Sebaliknya, Ferdinand yang begitu bersemangat menekuni setiap kata yang diucapkan Profesor Citos, justru berkutat dengan pelbagai masakan khas Yogyakarta sebagai pelayan di salah satu restoran. Sekali lagi, benar kata Bibi Vera, bahwa hidup penuh kejutan. Dan kejutan tak melulu menyenangkan.

Hari ini, Nyong Ambon yang pandai berpuisi itu, lagi-lagi berhasil memberikanku kejutan. Meskipun terasa berbeda dari banyak kejutan yang ia berikan pada masa kecilku. Belasan tahun silam, ia pernah memberiku kejutan yang tak terlupakan.

Jakarta, 1999

Menjelang 17 Agustus, siang giat memanggang jalan di depan Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL). Sementara aku, Ramli, dan Ah Cy tengah giat menjahili Kak Daus. Ramli menyembunyikan deretan bendera kecil yang hendak dipasang Kak Daus di pagar TBAL.

“Ram,” bisikku, “kasian Kak Daus. Lihat, tuh, dia terus garuk hidungnya.”

“Ram, sebenarnya kamu sembunyiin di mana, sih!?” Ah Cy bicara dengan gaya kuda-kuda kungfu yang telah menjadi kebiasaannya, “cepet kasih tahu aku! Kamu jangan keterlaluan gitu, Ram!” Ah Cy terlihat sudah tak tega melihat Kak Daus terus menggaruk hidungnya.

“Sssstt,” Ramli melekatkan telunjuk pada bibirnya sendiri, “tunggu bentar. Paling nggak sampai hidungnya lecet sedikit, deh.”

Kak Daus, lelaki pengelola TBAL bertubuh tambun itu, memang selalu menggaruk hidungnya ketika lupa akan sesuatu atau panik.

“Ram!” tegas Ah Cy.

“Ram, sebelum Cici ngamuk dan nyerang kita pake kungfunya, mending kamu kembaliin bendera ke Kak Daus.”

“Eh, Pik. Jangan mentang-mentang lagi belain aku, kamu seenaknya saja manggil aku ‘Cici’, ya!” Ah Cy semakin memantapkan kuda-kudanya.

Curiga kami tengah bersiasat, Profesor Citos bangkit dari duduknya dan menghampiri kami.

“Hayo, anak-anak, lagi apa kalian?”

“Prof, si Ram__” keluh Ah Cy, yang tak bisa lengkap terdengar sebab mulutnya segera dibekap Ramli.

“Ramli. Ayo kembalikan apa yang kamu sembunyiin dari Kak Daus,” kata Profesor Citos, yang telah hapal dengan segala kejahilan Ramli.

“Prof, satu menit lagiiii aja. Boleh, ya, ya, ya?” mohon Ramli.

“Ramli …”

Akhirnya, Ramli menyerah dan mengembalikan bendera kepada Kak Daus. Dan, usai memasang bendera, Kak Daus kembali duduk di mejanya dan sibuk menahan kantuk. Sedangkan kami, asyik menekuni cerita Profesor Citos tentang para penemu teknologi.

Tak lama, Ferdinand datang. Ia duduk berjarak beberapa meter dari kami. Berbeda dari biasanya, ia tak memilih duduk paling dekat dengan Profesor Citos. Ia malah sibuk meniup-niup telapak kakinya yang terlihat dekil kemerahan.

Melihat keanehan itu, kami segera menghampiri Ferdinand.

“Kenapa, Fer?” tanya Profesor Citos.

“Ummm … sepatuku dipalak, Prof,” kata Ferdinand. Nadanya murung.

“Gerombolan si berat lagi, Fer?” tanya Ah Cy, bersiap dengan gaya kuda-kudanya.

“Ya, Cy, siapa lagi kalau bukan mereka,” jawab Ferdinand.

“Wah, ayo kita laporin ke polisi saja, Fer,” kata Ah Cy, spontan.

“Jangan, jangan, Cy. Kata babehku, lapor ke polisi ongkosnya mahal,” kataku.

“Makanya, kita jalan kaki aja. Kan nggak perlu keluar uang!” Ah Cy terdengar bersemangat. Profesor Citos terkekeh.

“Prof,” panggil Ferdinand lirih, “apa para penemu bisa jadi kaya kalau sudah berhasil menemukan sebuah teknologi?”

“Iya, Fer, setahu Prof banyak penemu yang kaya,” jawab Profesor Citos, sedikit heran.

“Suatu hari, aku pasti berhasil menemukan sebuah teknologi super canggih, Prof” kata Ferdinand, sambil matanya menerawang.

“Biar jadi kaya, ya, Fer, dan bisa punya ongkos lapor ke polisi,” ejek Ramli.

“Bukan.”

Profesor mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dahi, kebiasaannya ketika tengah berpikir. “Buat beli kostum Robocop biar kalau gerombolan si berat mau curi sepatumu mesti bawa obeng?” timpal Profesor Citos.

“Bukan, Prof,” kata Ferdinand, “aku pengen punya banyak uang untuk beli banyak sepatu bagus buat gerombolan si berat. Supaya mereka nggak harus repot memalak lagi.”

Raut wajah Profesor Citos dan langit hari ini tiba-tiba berubah cuaca.